Hukum I’tikaf Wanita dirumah, Simak Penjelasan Beriku!

Jagad.id – Apakah Hukum I’tikaf Wanita dirumah?. Dalam Islam, “I’tikaf” merujuk pada kegiatan religius di mana seorang mengasingkan diri di mushola/masjid atau lokasi yang dipilih. Dengan niat membaktikan diri untuk melaksanakan ibadah dan seraya mengingat Allah (SWT).

Berkenaan I’tikaf wanita di dalam rumah, ada ketidaksamaan pendapat di kelompok ulama mengenai hukum i’tikaf wanita dirumah. Beberapa ulama yakin jika wanita bisa lakukan I’tikaf di dalam rumah bila mereka mempunyai tempat khusus untuk beribadah dan khalwat, dan mereka mempunyai ijin dari suami atau wali lelaki.

Apa Hukum I’tikaf wanita dirumah?

Para Ulama yang lain memiliki pendapat jika I’tikaf ialah ibadah yang secara eksklusif diasumsikan dimushola dan jika wanita tidak bisa lakukan I’tikaf di dalam rumah. Mereka merekomendasikan supaya wanita bisa lakukan beribadah dan dedikasikan diri di dalam rumah, tapi tidak bisa disebutkan I’tikaf.

Wanita mempunyai hak untuk pengisolasian. Ini berdasar hadits Imam Al-Bukhari dan Muslim lewat Ibu Aisyah ra, seperti berikut:

وَعَنْهَا: – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya : “Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Aktivitas itu dilakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti i’tikaf pada waktu tersebut sepeninggal wafatntnya Rasulullah SAW,” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari hadits ini, beberapa ulama mengaitkan jika wanita mempunyai hak untuk beri’tikaf. I’tikaf yang kami sarankan setiap waktu disunnahkan dalam sepuluh hari terkahir bulan akhir Ramadhan.

Baca Juga : Apa itu Itikaf? Berikut Hukum dan Tata Caranya

Dapatkah seorang ibu dengan anak kecil lakukan ini di tempat tinggalnya, misalkan di mihrab, supaya ia dapat menjaga anaknya? Dan apa ia dipandang seperti orang yang beri’tikaf?

I’tikaf ialah beribadah denag berdiam di mushola atau masjid dengan bermaksud mendekatkan diri pada Allah Swt. Beribadah ini bisa dilaksanakan oleh lelaki atau wanita. Adapun penerapan kecukupan di luar mushola/masjid, beberapa ulama berlainan opini atau pendapat dalam syariat/hukumnya.

Menurut Madzhab Al-Maliki, Mazhab Syafii dan golongan Hanbali

Ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali menjelaskan jika I’tikaf hanya dapat dilaksanakan di mushola/masjid baik untuk lelaki atau wanita. Mereka bisa beri’tikaf di mushola/masjid mana saja, bahkan juga di mushola yang tidak dipakai untuk sholat berjama’ah.

Berdasarkan pemikiran ini, seorang wanita tidak bisa i’tikaf dirumah karena rumah bukan lokasi yang disengaja dibuat untuk shalat seperti mushola. Oleh karena itu, Rasulullah Saw mengajurkan beri’tikaf dilakukan di mushola/masjid.

Shohabat Abdullah Ibn Umar RA, melalui riwayatnya :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melaksanakan i’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan (HR. Muslim no. 1171).”

Tempat untuk beri’tikaf

Berkenaan dengan tempat untuk beri’tikaf, para tabi’in nafi’ meriwayatkan :

وَقَدْ أَرَانِي عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْمَكَانَ الَّذِي كَانَ يَعْتَكِفُ فِيهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمَسْجِدِ

Artinya : “Abdullah bin Umar ra. menunjukkan kepadaku bahwa tempat Rasulullah ﷺ beri’tikaf adalah di masjid (HR. Muslim no. 1171).”

Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an,

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ 

Artinya : “Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beri’tikaf di masjid (QS. Al-Baqarah [2]: 187).”

Tetapi beberapa ulama berlainan opini mengenai tempat i’tikaf wanita dan ijin suami untuk i’tikaf. Ketidaksamaan opini beberapa ulama mengenai hal tersebut kelak akan kami terangkan lebih detil di kesempatan lain. Lebih jelasnya wanita jaman saat ini bisa beri’tikaf sebagai istri-istri Rasulullah SAW, apa I’tikaf berdasar hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan melalui Sayyidatina Aisyah RA.

Pandangan Madzhab Hanafi

Berlainan dengan ke-3 madzhab yang lain, Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama madzhab mengatakan jika wanita boleh beri’tikaf di masjid rumahnya (mihrab). Maksudnya mushola/masjid tempat tinggalnya, yakni tempat khusus di rumah yang ditujukan untuk beribadah shalat.

Baca Juga : 5 Keutamaan Malam Lailatul Qadar, Pemburu Malam Terbaik

Pendapat ini memperlihatkan keutamaan wanita untuk shalat di dalam rumah. Menurut madzhab Hanafi, bila seorang wanita cenderung lebih baik dan utama untuk shalat di dalam rumah dibanding shalat di mushola/masjid, hal ini sama berlaku untuk i’tikaf.

Menurut Imam Fakhruddin Az-Zailai

Imam Fakhruddin Az-Zailai mengatakan jika seorang wanita boleh beri’tikaf di masjid atau mushola, namun i’tikafnya di dalam rumah mushola (mihrab) lebih bernilai untuknya (lebih utama). Imam Shihabuddin asy-syalbi menambahkan: Bila tidak ada mushola atau masjid di tempat tinggalnya, karena itu ia boleh membuat mushola atau masjid di tempat tinggalnya sebagai pengganti masjid dan bisa beri’tikaf di dalamnya.

Kesimpulan

Dengan demikian berdasarkan keterangan di atas, kami pahami jika sebagian besar ulama mazhab Maliki, Siyafi dan Hanbali tidak memperkenankan praktek beribadah i’tikaf terkecuali di mushola atau masjid.

Dalam pada itu, ulama mazhab Hanafi memperkenankan wanita muslimah beri’tikaf di dalam rumah, walaupun sebenarnya i’tikaf di mushola dipandang paling utama dibanding i’tikaf di mushola. Dan ketidaksamaan opini ini tentu saja didasari pada hasil ijtihad dan kesepakatan masing-masing ulama yang pantas kita syukuri sebagai wujud karunia Allah.

Baca Juga : Hukum Onani saat Puasa, Apakah Batal Puasanya?

Pertanyaan di atas sebetulnya tidak cuma mengenai di mana wanita melakukan itikaf, tapi juga mengenai pembagian peranan dalam pengasuhan. Pembagian pekerjaan pengasuhan memerlukan kerja-sama yang bagus di antara suami dan istri.

Saat seorang istri ingin beri’tikaf dimasjid, karena itu suami harus memberi dukungan dengan membantu mengurus kewajiban-kewajiban istri sementara selagi istri melaksanakan ibadah. Begitupun saat suami shalat dan istri menjalankan kewajibannya, ia dapat memilih alternatif pendapat kedua dengan ber’tikaf di mushola (mihrab) tempat tinggalnya.