Kembali lagi di Jagad.id, sebelumnya kita telah mengulas dengan singkat biografi dari salah seorang tokoh Aceh bernama Teuku Muhammad Hasan yang merupakan Gubernur pertama wilayah Sumatra. Adapun kali ini, seperti judul yang sudah kita lihat bersama, kita akan menguraikan sejarah hidup atau biografi singkat dari Teuku Umar yang telah banyak berjasa bagi tanah air kita Indonesia. Simak selengkapnya di bawah ini.
Biodata Singkat
- Nama : Teuku Umar
- Jabatan : Uleebalang
- Kelahiran : Meulaboh, 1854
- Wafat : Meulaboh, 11 Februari 1899
- Ayah : Teuku Achmad Mahmud
- Istri : Cut Nyak Sofiah, Cut Meuligou/Nyak Malighai, Cut Nyak Dhien
- Anak Dari Cut Meuligou: Teuku Sapeh, Teuku Raja Sulaiman, Cut Mariyam, Cut Sjak, Cut Teungoh, Teuku Bidin
- Anak Dari Cut Nyak Dhien : Cut Gambang
Teuku Umar adalah seorang pria asal Meulaboh yang merupakan putra dari Teuku Achmad Mahmud, seorang Uleebalang di Aceh. Sedangkan nenek moyang dari Teuku Umar merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta, yang bernama Datuk Makhudum Sati. Beliau (Nenek Moyang Umar) adalah pria keturunan yang berasal dari daerah Minangkabau. Laksamana Muda Nanta sendiri adalah seorang tokoh penting di Pariaman yang menjabat sebagai perwakilan Kesultanan Aceh, pada masa pemerintahan Sri Sultan Iskandar Muda.
Sejak kecil, Teuku Umar memang dikenal cerdas, dan pemberani. Seperti anak laki laki pada umumnya, sesekali umar pun terlibat perkelahian dengan teman teman sebayanya. Selain itu, Teuku Umar juga merupakan sosok yang terkenal gigih, serta pantang menyerah saat menghadapi beragam persoalan hidup. Meskipun Teuku Umar tidak pernah mengecap bangku pendidikan formal, namun umar mampu membuktikan bahwa ia juga dapat tumbuh menjadi sosok pemuda yang kuat, pemberani, cerdas dan mampu menjadi seorang pemimpin yang layak untuk dijadikan sebagai teladan.
Masa Perang
Tahun 1873 Aceh memasuki masa perperangan. Saat itu Teuku Umar masih berusia 19 tahun, dan ia beserta para pejuang Aceh lainnya berjuang menjaga kedaulatan wilayah Aceh dari serangan pasukan Belanda. Meski terbilang muda, namun dengan segala keutamaan yang dimiliki Teuku Umar, membuat orang orang yakin saat itu dan menjadikan Umar sebagai Keuchik Gampong di wilayah Daya Meulaboh. (Keuchik Gampong : Kepala Desa)
Ketika menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar pun menikahi Nyak Sofiah yang saat itu merupakan anak Uleebalang Glumpang. Setelah menikahi Nyak Sofiah, kemudian Teuku Umar juga menikahi Nyak Malighai untuk menaikkan derajatnya. Nyak Malighai sendiri adalah seorang putri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Lebih kurang 6 tahun setelah pernikahannya dengan Nyak Sofiah, Teuku Umar pun menikah kembali dengan salah seorang janda bernama Cut Nyak Dhien yang merupakan putri dari Teuku Nanta Setia alias pamannya Umar sendiri.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Cut Nyak Dhien adalah salah seorang sosok pahlawan wanita yang ikut berjuang melawan para penjajah Belanda bersama suaminya yang bernama Teuku Ibrahim Lamnga. Namun pada tahun 1878 (2 tahun sebelum pernikahan Cut Nyak Dhien dengan Umar), suami dari Cut Nyak Dhien pun meninggal dunia akibat bertempur dengan pasukan Belanda di wilayah Gle Tarun.
Strategi Perjuangan Umar
Serangan Belanda yang terus menekan Aceh saat itu membuat Teuku Umar pun nekad melakukan sebuah rencana yang cukup berbahaya. Saat itu Umar berpura pura menyerahkan diri kepada pihak Belanda dan memilih bergabung dengan pasukan Belanda. Waktu pun berjalan, tahun 1883 pasukan Umar memilih berdamai dengan Belanda. Salah seorang Gubernur Belanda bernama Van Teijn pun berniat memanfaatkan kondisi Teuku Umar untuk merebut hati Rakyat Aceh, hingga akhirnya Teuku Umar pun berhasil mendapatkan kepercayaan Belanda dan masuk kedalam dinas kemiliteran.
Setelah berhasil bergabung dengan pihak Belanda, Umar pun mulai menundukkan satu persatu pos pos pertahanan wilayah Aceh. Namun Belanda tidak menyadari bahwa yang sebenarnya Teuku Umar lakukan adalah sebuah siasat untuk mengelabui Belanda dan pasukannya. Setelah Belanda percaya dengan Teuku Umar karena berhasil menundukkan pos pos pertahanan, umar membuat sebuah permintaan kepada Belanda agar menambah jumlah pasukannya berupa 17 orang panglima dan 120 orang prajuri, termasuk didalamnya adalah seorang panglima laut yang bertanggung jawab sebagai tangan kanan dari Teuku Umar. Permintaan Umar pun dikabulkan.
Singkat cerita, pada tahun 1884 Kapal Laut Inggris terdampar di sebuah wilayah. Saat itu Kapten beserta awak kapalnya pun disandera oleh Raja Teunom. Ketika itu Raja Teunom bersedia melepaskan sandera dan mengembalikan kapal apabila pihak pemerintah Belanda mau menebus dengan uang senilai 10.000 Dolar. Seakan kehabisan cara, pihak Belanda pun akhirnya meminta bantuan kepada Teuku Umar untuk membantunya melepaskan Kapal Inggris beserta awaknya dari tangan Raja Teunom. Namun saat itu Teuku Umar menjelaskan, bahwa Raja Teunom dan bala tentaranya bukanlah sesuatu yang mudah untuk ditaklukan. Dan apabila pihak Belanda serius ingin mengutus Umar, ia meminta agar pihak Belanda menyediakan cadangan persenjataan yang cukup banyak diperjalanan. Hal ini bertujuan agar pihak pasukan Umar dapat bertahan selama mungkin dalam menghadapi Raja Teunom beserta bala tentaranya tanpa kehabisan cadangan persenjataan. Siapa sangka, ternyata Belanda menyetujui permintaan Teuku Umar. Hal ini Belanda lakukan agar ketegangan antara Inggris dan Belanda tidak semakin menegang.
Akhirnya Teuku Umar pun berangkat dengan Kapal Bengkulen disertai cadangan persenjataan yang cukup banyak. Mereka bergerak kearah Aceh Barat bersama dengan 32 tentara Belanda dan beberapa orang panglima. Selang beberapa waktu Belanda pun dikejutkan dengan sebuah kabar, bahwa seluruh tentara Belanda yang berangkat dengan Teuku Umar habis dibunuh dan dibuang ke tengah lautan. Tidak sampai disitu saja, seluruh cadangan senjata milik Belanda pun juga turut dirampas.
Melanjutkan Rencana Awal
Diizinkannya Teuku Umar untuk berangkat bersama cadangan persejataan yang banyak sekaligus menjadi momentum baginya untuk bertolak kembali bergabung bersama rakyat Aceh sebagaimana rencana awal Umar. Seluruh cadangan senjata yang berhasil ia rampas diberikan kepada para tentara Aceh saat itu. Selanjutnya Teuku Umar pun kembali menjadi pemimpin pasukan rakyat Aceh dalam menjaga kewilayahan tanah Aceh. Waktu berjalan, dan tidak terasa 6 daerah Mukim yang semula dikuasai Belanda kembali direbut oleh Teuku Umar beserta pasukan Aceh.
Wafat
11 Februari 1899 Umar dan pasukan bergerak menuju Meulaboh. Mereka tidak mengira bahwa ketika di pinggir kota Meulaboh akan dihadang oleh pasukan Van Heutsz. Pertempuran pun tidak terelakkan, baku tembak yang sengit terjadi, hingga akhirnya sebuah peluru pun menembus dada Teuku Umar. Jenazah Teuku Umar dimakamkan di Masjid kampung Mugo di wilayah Hulu Sungai Meulaboh.