Sosok pria yang akrab dengan panggilan Wahid Hasyim ini merupakan putra dari KH. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah. Wahid Hasyim lahir di Kabupaten Jombang, 1 Juni tahun 1914. Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota keluarga / keturunan dari pendiri Organnisasi Islam Nahdlatul Ulama, yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Berdasarkan silsilah keturunan lewat jalur dari ayah, Wahid Hasyim adalah seorang pria yang memiliki hubungan darah dengan salah seorang sultan dari kerajaan Demak, yaitu Sultan Sutawijaya. Adapun silsilah keturunan lewat jalur dari ibu bersambung sampai ke Sultan Brawijaya V yang merupakan salah seorang Sultan dari Kerajaan Mataram.
Masa Pendidikan Dan Kecerdasan Beliau
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah seorang pria yang cerdas. Saat berusia 7 tahun, beliau sudah khatam dan mahir dalam membaca Al Quran. Tentu saja, kemampuan yang di dapat dari Wahid Hasyim tidak lepas dari bimbingan sang ayah KH. Hasyim Asy’ari. Disamping itu, Wahid Hasyim juga menempuh pendidikan di Madrasah Salafiyah Pesantren Tebuireng. Saat masih berusia 12, yakni selepas dari bangku Madrasah, Wahid Hasyim kecil sudah dipercaya untuk membantu KH. Hasyim Asy’ari untuk mengajar para adik adik dan anak anak seusinya. Meskipun Wahid Hasyim merupakan anak dari tokoh pemuka agama saat itu, namun ia tidak mengikuti program sekolah Pemerintah Belanda. Melainkan lebih banyak menguasai cabang cabang ilmu secara otodidak. Sedari kecil Wahid Hasyim sudah akrab dan terbiasa mempelajari kitab kitab berbahasa arab dengan mandiri.
Tidak hanya mempelajari kitab berbahasa arab secara mandiri, Wahid Hasyim kecil pun juga menguasai syair syair berbahasa arab dengan hapalan yang kuat. Sejak usia 13 tahun, Wahid Hasyim telah melakukan perjalanan pendidikan dari pondok ke pondok. Seperti Pondon Siwalan, Panji, yang merupakan salah satu pesantren tua di Kabupaten Sidoarjo. Di Peantren Siwalan ini Wahid Hasyim hanya bertahan sekitar satu bulan. Pesantren lainnya tempat Wahid Hasyim kecil belajar adalah Pondok Pesantren Liboyo, Kediri.
Setelah kembali dari Pesantren Lirboyo, Wahid Hasyim memilih untuk tetap tinggal di rumah dengan melanjutkan belajar secara otodidak seperti yang biasa ia lakukan. Keputusan Wahid Hasyim pun dihargai oleh ayahnya. Proses belajar otodidak yang dijalani Wahid Hasyim pun mulai menampakkan hasil, meski tidak pernah mengecap bangku pendidikan umum, beliau mampu mengenali huruf latin dan menguasai bahasa Inggris serta Belanda di usianya yang masih 15 tahun. Kemampuan berbahasa asing tersebut beliau kuasai dengan mempelajari kosa kata bahasa dari majalah majalah dalam negeri maupun luar negeri.
Belajar Di Kota Mekkah
Saat menginjak usia 18 tahun, Wahid Hasyim pun berangkat ke kota suci Mekkah. Perjalanan tersebut bertujuan untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus memperdalam keilmuannya mengenai syariat islam. Perjalanan Wahid Hasyim di Mekkah ditemani oleh Muhammad Ilyas yang merupakan sepupu dari dari Wahid Hasyim dan bakal calon dari Menteri Agama Indonesia. Perkembangan Wahid Hasyim sebagai pemuda cerdas juga tidak lepas dari peranan Muhammad Ilyas dalam mengarahkan Wahid Hasyim. Tidak hanya itu, Muhammad Ilyas juga berperan sebagai mentor Wahid Hasyim dalam penguasaan bahasa arab. Lebih kurang 2 tahun Wahid Hasyim menuntut ilmu di tanah suci Kota Mekkah Al mukarromah. Dan dari proses menuntut ilmu tersebut, Wahid Hasyim tampak berubah menjadi sosok yang lebih matang serta memiliki kecerdasan intelektual yang baik. Setelah kembali dari Kota Mekkah, seperti yang diharapkan, beliau pun memberikan sumbangsih dalam dunia pendidikan melalui pengajaran yang ia sampaikan. Dan saat usia 24 tahun, Wahid Hasyim memutuskan untuk melebarkan sayapnya kedalam dunia politik. Mulai dari pendidikan politik, hingga pembaharuan pemikiran beliau ajarkan kepada masyarakat Indonesia, agar berani terlepas dari jeratan para penjajah bangsa.
Sekembalinya dari tanah suci, Abdul Wahid Hasyim “kebanjiran” permintaan agar bergabung dengan perhimpunan dan organisasi yang kala itu sedang menjamur di Indonesia. Dari sekian banyak permohonan agar beliau (Wahid Hasyim) bergabung ke dalam organisasi, tidak satu pun beliau sepakati, termasuk permintaan dari Organisasi islam terbesar Indonesia Nahdlatul Ulama.
Namun, seiring berjalannya waktu, Wahid Hasyim pun akhirnya memilih untuk bergabung dengan NU setelah melalui berbagai pertimbangan. Dan salah satu alasan Wahid Hasyim memilih NU saat itu adalah baiknya koordinasi yang dimiliki Nahdlatul Ulama, sehingga dapat menyebar luas ke berbagai daerah di seluruh Indonesia dalam waktu yang sangat singkat. Hal inilah yang tidak dimiliki organisasi organisasi yang berniat merekrut Abdul Wahid Hasyim.
Menikah
KH. Wahid Hasyim melangsungkan pernikahan saat dirinya berusia 25 tahun. Ketika itu beliau mempersunting Solichah, seorang gadis berusia 15 tahun yang merupakan putri dari KH. Bisri Syansuri. Dan dari pernikah tersebut, beliau dikaruniai enam orang anak. Yaitu :
- Abdurrahman ad-Dakhil – Mantan Presiden RI
- Aisyah – Ketua Umum PP Muslimat NU (1995-2000)
- Shalahudin al-Ayyubi – Insinyur lulusan ITB (Pengasuh PP. Tebuireng Jombang)
- Umar – Dokter lulusan UI
- Khadijah
- Hasyim
Wafat
KH. Abdul Wahid Hasyim wafat di usianya yang masih sangat muda, 38 tahun (sebagian lain mengatakan 39 ahun). Beliau meninggal pada tanggal 19 April 1953, akibat kecelakaan lalu lintas. Beliau dimakamkan di Tebuireng, Jombang. Berdasarkan Surat keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964, KH. Abdul Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.