Kalau kita sering menyimak penjelasan guru sejarah waktu sekolah, tentu nama Tuanku Imam Bonjol sudah tidak asing di telinga kita. Beliau adalah sosok pahlawan yang agamis, yang berani mengorbankan nyawa demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Beliau dilahirkan di Bonjol, Pasaman, Provinsi Sumatra Barat sekitar tahun 1772. Meskipun beliau lahir beratus ratus tahun sebelum Indonesia meraih merdeka, namun besarnya perjuangan beliau telah tergores di dalam buku buku sejarah dan terdengar sampai saat ini.
Pria yang bernama asli Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin ini merupakan sosok pendakwah tersohor di Pulau Sumatra. Beliau sangat menjunjung tinggi ajaran agama Islam dengan melakukan pencegahan atas maksiat dan kerusakan yang terjadi di sekitar lingkungannya, seperti : menentang penyalahgunaan narkotika, perjudian, minuman beralkohol, tembakau, serta praktik sabung ayam /laga ayam. Bahkan tidak berhenti sampai disitu, penentangan Tuanku Imam Bonjol juga terlihat sangat jelas, saat Belanda mencoba menguasai wilayah Sumatra Barat dengan semboyan 3G yaitu Gold, Glory, dan Gospel. Dari sinilah munculnya perang yang sangat terkenal di Indonesia dengan sebutan Perang Padri.
Masa Perang
Api peperangan pun mulai tersulut. Saat itu terjadi perselisihan antara kaum adat dengan kaum paderi yang melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kala itu kaum paderi ingin memurnikan ajaran Islam yang telah banyak mengalami penyimpangan dari syariat islam yang sesungguhnya. Namun, hal tersebut justru dipandang sebagai bentuk ancaman bagi kaum adat. Siapa menduga, ternyata kaum adat pun bekerjasama dengan pihak Belanda agar mendapatkan bantuan saat melawan kaum paderi.
Peperangan berlangsung, kaum adat tidak berhasil meraih kemenangan. Justru keberadaan pasukan Tuanku Imam Bonjol yang sangat kuat membuat Belanda merasa semakin terancam. Akhirnya Belanda pun memainkan siasat licik dengan berpura pura melakukan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824, perjanjian tersebut pun dikenal dengan sebutan Perjanjian Masang. Seperti yang sudah kita sampaikan, bahwa ini adalah siasat licik Belanda yang telah terpojok. Selang beberapa waktu setelah perjanjian damai, Belanda pun menyerang wilayah Negeri Pandai Sikat.
Pertempuran terus terjadi, namun kekuatan Belanda yang terbagi ke wilayah Perang Diponegoro membuatnya tidak berhasil meraih kemenangan atas Tuanku Imam Bonjol. Akan tetapi, setelah Perang Diponegoro usai, dengan sigap Belanda mengirimkan pasukannya dalam jumlah besar untuk merebut Sumatra Barat secara keseluruhan.
Perang terus berlangsung, segenap kekuatan telah dikerahkan oleh Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya. Akan tetapi, perbedaan jumlah dan kekuatan yang terlalu besar membuat satu demi satu wilayah yang dipegang oleh Tuanku Imam Bonjol direbut oleh pasukan Belanda. Namun, setelah tiga bulan berlalu, tepatnya pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berhasil merebut kembali wilayah kekuasaannya tersebut. Namun lagi lagi, Belanda tidak menyerah untuk menguasai Sumatra Barat. Dengan jumlah pasukan yang lebih besar, Belanda kembali menggempur Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya. Dan pada pertemuran kali ini, pasukan Belanda dipimpin langsung oleh Gubernur Jeneral Van den Bosch. Tapi tetap saja, Belanda tidak berhasil mengalahkan Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya.
Singkat cerita, kedudukan Tuanku Imam Bonjol dan pasukan semakin bertambah sulit, meski begitu beliau selaku pemimpin tetap tidak ingin berdamai dengan Belanda. Periode terus berlanjut, bahkan Belanda telah 3 kali mengganti panglima perangnya agar dapat menaklukan dan merebut daerah Bonjol. Bonjol yang terus dikepung selama tiga tahun pun akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1837.
Setelah wilayah Bonjol dikuasai oleh Belanda, mau tidak mau Tuanku Imam Bonjol pun menyerah terhadap Belanda. Hingga akhirnya beliau pun di asingkan ke beberapa wilayah di Indonesia. Tempat pengasingan terakhir beliau adalah wilayah Kabupaten Minahasa.
Penetapan Sebagai Pahlawan Nasional
Besarnya jasa dan perjuang Tuanku Imam Bonjol bagi bangsa Indonesia tentu tidak perlu diragukan lagi. Berangkat dari semua jasa itu, sebagai bentuk penghargaan dari pemerintahan Indonesia yang telah mereka, SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973 menetapkan bahwa Tuanku Imam Bonjol adalah Sosok Pahlawan Nasional Indonesia.
Wafat
Tuanku Imam Bonjol Wafat di usia 92 tahun pada tanggal 6 November 1864. Makam atau kuburan beliau berada di Jalan Pineleng-Kali, Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Sebagian mengatakan nama asli Tuanku Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, namun sebagian lagi mengatakan nama beliau adalah Muhammad Shahab.