jagad.id– Subsidi Listrik Indonesia subsidiĀ telah menjadi salah satu isu utama pemerintah Indonesia sejak lama. Peningkatan yang signifikan dialami pada tahun 2005 selama krisis ekonomi karena pemerintah memperluas target subsidi listrik dari hanya 450 VA ke semua konsumen yang tarif tenaga listriknya di bawah biaya penyediaan tenaga listrik.
Peraturan ini membebani anggaran pemerintah karena subsidi listrik bisa mencapai 5-8% dari total belanja pemerintah. Pada periode tersebut, subsidi listrik lebih tinggi dibandingkan sektor transportasi, pertanian, industri, dan kesehatan. Kemudian, pada tahun 2014, pemerintah memutuskan untuk menghapus subsidi untuk sektor rumah tangga dengan daya di atas 1.300 VA dan perkantoran komersial, industri, dan pemerintahan dengan daya di atas 6.600 VA. Keputusan ini berhasil menurunkan subsidi menjadi hanya sekitar 2-3% dari total belanja pemerintah.
Menghadapi Dilema Subsidi Listrik Di Satu Sisi
sebagai salah satu negara berkembang, subsidi sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan akses listrik, terutama bagi masyarakat miskin, pedesaan dan daerah terluar. Namun di sisi lain, menimbulkan utang dan arus kas yang sangat besar, baik bagi pemerintah maupun PT PLN, menghambat transisi energi, serta program efisiensi energi.
Subsidi Listrik tentunya dapat membantu pemerintah untuk menyediakan listrik yang terjangkau bagi masyarakat miskin. Namun, banyak yang berpendapat bahwa program ini harus dievaluasi karena beberapa masalah muncul seiring dengan pelaksanaannya. Pertama, dampak subsidi terhadap APBN. Peningkatan subsidi akan mengikuti peningkatan konsumsiĀ terutama di sektor rumah tangga.
Menghadapi dilema ini tidak mudah, terutama karena hambatan sosial dan politik. Orang biasanya menjadi tergantung pada subsidi karena mereka berharap hal itu akan berlanjut hampir selamanya. Rencana reformasi subsidi dapat diikuti dengan penolakan keras dari masyarakat.
Subsidi juga sering digunakan sebagai alat politik strategis oleh pemerintah dan politisi terutama pada masa pemilu. Oleh karena itu, subsidi menjadi jauh lebih sulit untuk direformasi dengan perlawanan baik oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri. Kunci untuk melepaskan ikatan tersebut adalah dengan memahami biaya sebenarnya dari subsidi tersebut.
Biaya riil tidak hanya ditampilkan dalam laporan keuangan, tetapi juga efek multiplier tidak berwujud yang disebabkan oleh listrik subsidi. Mengetahui biaya riil dapat membantu pemerintah untuk memutuskan apakah subsidi harus dipertahankan, direformasi, atau dihapus. Reformasi dan pencabutan subsidi dapat dilakukan secara bertahap untuk menghindari gejolak sosial dan politik.
Aspek penting lain yang menjadi perhatian adalah batasan waktu pemerintah harus selalu memberikan sosialisasi yang jelas dalam setiap program subsidi agar masyarakat tidak terlalu tergantung. Akhirnya program subsidi listrik tidak selalu menimbulkan dilema. Persiapan yang matang dan analisis yang matang dan koheren terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan dapat menciptakan program subsidi yang dirancang dengan baik.